Kamis, 12 Juli 2018

Penyebab Revitalisasi Sungai Ciliwung Bisa Serap 1.200 Lapangan Kerja Berorientasi Lingkungan

Rencana reklamasi di Teluk Jakarta kembali menyita perhatian publik setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi dan Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Sebelumnya Anies menyegel 932 bangunan di Pulau D hasil reklamasi Teluk Jakarta sebagai sanksi atas pengembang yang nakal yang membangun tanpa izin.

Dua tindakan Anies itu membuat publik bertanya-tanya bagaimana kelanjutan nasib reklamasi di Teluk Jakarta. Kalaupun dilanjutkan, pakar lingkungan hidup dari Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono, mengajukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pengembang dan pemerintah provinsi DKI Jakarta. 

“Agar hubungan antara daratan DKI Jakarta dengan daratan baru hasil reklamasi memiliki kesinambungan secara ekosistem dan memiliki fungsi ekonomis yang berarti, Pemerintah DKI Jakarta dan pihak-pihak berkepentingan (stakeholder) lainnya, harus melakukan restorasi ekologi, baik terhadap badan sungai dan bantarannya, daerah pesisir dan kawasan (habitat) mangrove,”  kata Tarsoen, Rabu 13 Juni 2018 lalu.

Restorasi ekologi itu, kata dia, harus memperhatikan bahwa bentang alam kipas alluvial atau endapan sendimen akibat aliran sungai telah mengalami degradasi akibat gangguan alam dan aktivitas dari manusia. "Solusi yang ingin dilakukan harus dirancang dengan seksama," katanya. 

Tak hanya itu. Pengembang juga harus merancang pemulihan terhadap degradasi kawasan mangrove yang difungsikan sebagai penyangga Teluk Jakarta dan Bandara (Cengkareng-Tangerang). "Ini penting karena kawasan mangrove itu berperan sebagai pengaman terhadap banjir rob yang terjadi setiap bulan,” tutur Tarsoen.  Menurut Tarsoen, pemerintah juga harus mengembalikan fungsi dari kawasan pesisir utara Jakarta sebagai daerah peralihan dan pengaturan terhadap tata air dan kendali banjir rob. Tanpa itu, Jakarta akan menghadapi permasalahan lingkungan lainnya yakni penurunan kualitas air tanah di Kawasan Pantai Utara Jakarta.

“Tingginya bakteri e.coli, pelumpuran, dan pencemaran logam berat, membuat air tidak memungkinkan untuk dikonsumsi," kata Tarsoen lagi.  Dia juga menegaskan jika reklamasi diteruskan maka  masalah lingkungan lain seperti banjir, kekeringan,  intrusi air laut dan amblesan atau turunnya permukaan tanah di utara Jakarta, harus dipikirkan solusinya. Terlebih karena sebagian wilayah pesisir Jakarta merupakan pemukiman kumuh yang mengalami defisit air bersih.

Untuk itu, Tarsoen menyarankan solusi yang bisa diambil pemerintah adalah melakukan rehabilitasi bio fisik dari bentang alam termasuk restorasi ekologi kawasan mangrove agar menjadi habitat biota perairan laut.  "Selain itu, harus ada kebijakan lainnya untuk memantapkan layanan pengembangan wilayah melalui kegiatan reklamasi pantai berbasis ramah lingkungan," katanya.

Baca Juga: pencemaran udara 

Hanya reklamasi ramah lingkungan, kata Tarsoen, yang  dapat mengembalikan nama besar Bandar Dagang Sunda Kelapa. "Syarat mutlaknya, pemerintah harus  memberi perhatian pada masyarakat nelayan yang mengantungkan hidup dari hasil laut," katanya.   “Di sana harus dibangun permukiman nelayan modern, tepat pada tapak reklamasi atas prakarsa pengembang, untuk mendudukkan posisi nelayan Jakarta kembali pada masa kejayaannya,  sebagai komunitas yang memiliki aktivitas nelayan secara madani,” kata Tarsoen.

Artikel Terkait: lingkungan hidup 

Dia membayangkan pulihnya habitat mangrove akan menjadi ladang bahari yang subur bagi nelayan modern dengan model tambak. “Dengan terciptanya komunitas nelayan modern, yang tinggal di apartemen, dikelilingi dan hidup dari hutan mangrove, dengan hasil ikan, udang dan kepiting tambak, serta mendapat pendapatan juga dari usaha rekreasi dan wisata, maka barulah kejayaan Bandar Dagang Sunda Kelapa tempo dulu bisa diraih kembali," kata Tarsoen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar